Jumat, 25 Juni 2010

The Man and His Doll

I haven't known him. I just often meet him on the way to my hometown, every year. I don't know why he never change, the man who has an odd habit. But the strangest thing is nobody has met him except me. Actually he just a man with an ordinary appearance. He looked like an old man with his almost grayish hair.

My hometown is rather far from the road. So I need to walk about half an hour first to arrive. After passing some fields, I meet an empty land where I meet that man every year. It maked me confuse that he is always there when I pass the land, as if he knows when I'll come.

"What are you doing here, Sir?" I said in the first time--and finally every time I meet him.
"I'm waiting a doll pass here."
"A doll ? Do you mean a little girl who brings a doll ?"
"Not. Absolutely only a doll. And you're the third doll which I meet today."
"Sorry, Sir. But I think I'm not a doll. Do you see ? I'm a human, just an ordinary man like others," I was so confused when he said that I was doll.
"Isn't it the same thing ? Yes, you're a doll. Human is only a doll which is controlled by God. Isn't it true ?"
"No,Sir. You're wrong."
"Yes, I'm right. Aren't some people like that ? Although maybe they wouldn't agree with my statement."
"Excuse me Sir. Let me tell you the truth."
"Ok. But I'll never change my mind," he said carelessly.
"Of course as a creatures, we all under the Creator's control. But actually we couldn't consider it as a doll."
"Tell me more."
"God gives us a chance to choose. We have a freedom to take the choice for our life. We can choose being a good person or bad person. We can choose to be an extraordinary person or only being an ordinary person. There is always other choice after a choice."
"Huh. You are just similar, like the others. Enough ! Go away from here ! Don't ever think that you can change me ! GO AWAY !" his intonation was full of anger.

Then I go without any understanding. How come there is a man like him ?
Yeah, however, I don't ever feel bored to explain the same thing--every time I meet him, as that odd man never bored to ask me with the same questions. No one knows exactly when it will be finished.


Ceritanya ini tugas LIA, buat teks naratif..
Catatan : Bagi guru bahasa Inggris yang baca, mohon maaf, kualitas bahasa dan cerita sangat tidak dijamin.. =D

Nelayan Malam

Aku ini nelayan malam,
menjaring gelap dalam biduan cahaya
dalam kembara samudera makna

Aku ini nelayan malam,
menghidupkan kala dari lalainya,
lantas menjemput cinta dalam ketundukan hamba
--karena buritan sudah hampir usia

: Kemudian menyatu dengan pelita,
bersujud rentaskan cahaya..

Aku Membaca

Pertama kali membaca,
aku jatuh cinta
Sekali waku aku membaca aku
Sekali waktu aku membaca air
Sekali waktu aku membaca angin
Sekali waktu aku membaca langit,
Laut,
Gunung
Setiap waktu aku membaca, aku makin jatuh cinta
Setiap kali aku membaca,
Hanya ada keagungan dan kemahasempurnaan-Nya
Maka kusujudkan hatiku hanya pada-Nya,
Maka kuikrarkan hidupku hanya untuk-Nya
Karena akupun membaca,
Pengabdian adalah kita : hamba-hamba-Nya


(24 Februari 2009)

Dalam Diam

Saat aku terdiam,
tulisan pun bungkam
pada siapa lagi kubisikkan pengaharapan,
dalam sunyi paling sunyi,
dalam sepi paling sepi
: hanya pada Engkau !
Yang Maha Mendengar,
Maha Mengetahui isi hati..


(24 Februari 2009)

Biarkan Engkau Cinta

Biarkan wajahmu basah suci
Menunduk bersama fajar
dalam balutan istighfar,
menyatu dengan angin dan gigil malam

Biarkan matamu terjaga,
menangkap cahaya dalam anak-anak hujan,
di kala manusia terlelap dalam gurat lelah
Jemputlah cahaya !
Jemputlah cinta-Nya !

Biarkan sepertiga malammu jadi pembela,
dengarkan,
arak-arak pecinta menyerumu,
sungguh kafilah hamba adalah kembara yang sesungguhnya..

(27 Shafar 1429 H)

Jejak-jejak

Kita ini daun,
Kelak gugur jatuh karena tua,
Menjemput akhir masing-masing
Tapi bukan daun yang rela tergerogoti ulat,
Karena elang rajawalipun sesungguhnya kita,
Mengusir seribu musuh,
Menerkam sejuta ketakutan

Kelak kita harus belajar menerka ke mana angin berhembus,
Ke mana pula tombak menancap
Karena kata-kata sungguh tidak cukup tanpa makna
Biar kita melagu bersama alam,
Menghampar dalam diam

(5 Maret 2009)

Maka Kuiqrarkan

Tiba kesibukan, berganti kemelut, ditimpali peluh.
Namun inilah perjuangan, inilah pergerakan.
Sungguh, air yang diam hanya akan menjadi penyakit, maka jadilah air yang mengalir menasbihkan kebenaran, menghadapi cadas-cadas dengan tekad..

Seringkali aku terdiam, termenung tatapi ceruk-ceruk kehidupan,
Menggali lumbung-lumbung makna.
Biarkan sejenak kau simak panorama fajar, setiba di sekolah,
Atau nikmati saja terik siang saat kau pulang.
Tak ada yang tercipta sia-sia.
Sungguh !

Semalam mataku terbuka, mematut karya-karya Harun Yahya dalam cerminan hati dan kecemerlangan akal, cendekiawan muslim--insya'Alloh selanjutnya aku.
Betapa agung ciptaan Alloh. Bahkan air mata perenungan tak bisa menjelaskan kemahaagungan itu biarpun ia mengalir sepanjang tahun. Sebagaimana ibadah atau tidaknya kita tak akan menambah atau mengurangi keagungan-Nya..
"Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathilaa..!"

Kusarankan engkau membuka situs beliau, tak mengapa kau nikmati sekitar satu jam lebih men-download salah satu karya beliau : Atlas Penciptaan.
Tak mengapa. Sungguh tak mengapa. Bukankah begitu sering kita habiskan waktu di dunia maya sekedar melancong atau menyapa teman.
Kukatakan, insya'Alloh kau dapati ilmu yang bermanfaat di sana.
Bukti-bukti nyata, kebenaran dari Al-Haqq..
Sediakan waktumu tuk renungi ayat-ayat kauniyah-Nya.
Bukankah muslim adalah ummat yang berfikir ?

Tiba kesibukan, berganti kemelut, ditimpali peluh.
Namun inilah perjuangan, inilah pergerakan.
Sungguh, air yang diam hanya akan menjadi penyakit, maka jadilah air yang mengalir menasbihkan kebenaran, menghadapi cadas-cadas dengan tekad..

Sering kubisikkan kata-kata itu dalam-dalam, kuhembuskan dalam diriku bak angin laut yang menghantar nelayan pulang perantauan lautnya.
Kata-kata yang kusadur dari para pejuang Islam penulis tinta emas dalam sejarah..
Hasan al-Banna, begitupun para pemimpin pejuang kebenaran.
Lantas, apa alasanku untuk berdiam diri?
Meski aku hanya pelajar SMA, dengan rutinitas harian yang tak ada bedanya dengan siapapun di Nusantara. Bukankah derajat pembeda hanya taqwa?
Betapa indahnya Islam..
Maka kuikrarkan..
"Rodhiitu billaahi robbaa, wa bil islaami diinaa.."

(dari sebuah pesan singkatku untuk sahabat seperjuangan,
Lelah di jalan ini adalah niscaya.
Tangis di jalan ini kadang jadi pelipurnya.
Tapi syurga meniadakan segala derita,
hatta kembali ku katakan, "Rodhiitu billaahi robbaa, wa bil islaami diinaa..")

Selasa, 22 Juni 2010

Pagi yang Tercinta



“Teeeet..”
Bel asrama berteriak nyaring di pagi buta.
Selalu begitu.
Pukul empat setiap hari, setia tujuh hari dalam seminggu, empat minggu dalam sebulan, tak pernah alpa tiga puluh enam bulan dalam tiga tahun.
Kau tak butuh telinga sepeka kelinci untuk mendengarnya, karena bel yang menghuni koridor asrama kecil kami jauh lebih dari cukup untuk membuat keributan ‘kecil’ di pagi yang sunyi.
Asrama kami terdiri dari delapan kamar. Tiap kamar dihuni oleh delapan anak. Dan setelah keributan ‘kecil’ itu dimulai, enam puluh empat anak serentak terbangun dan membuat asrama yang sunyi menjadi riuh seperti semula.
(Ditambah jika engkau menghitung jumlah asrama kami, empat asrama putri dan empat asrama putra, sempurna sudah tempat kami menjelma menjadi kota kecil di tengah pegunungan).

Beberapa anak, meski sudah memasuki tahun ketiga, selalu memberikan reaksi tak kalah sigap dari siswa ketentaraan.
Salah satunya adalah aku.
Tiap kali mendengar suara sakti andalan wali asrama, antara sadar dan tidak, aku segera terloncat bangun. Benar-benar meloncat.
Bahkan jika aku sedang mendapat jadwal mingguan tidur di kasur tingkat dua, aku spontan melompat ke lantai. Meloncati dua dari empat anak tingga vertikal di ranjang besi kami.
Alhasil, mataku terbuka dengan sempurna tanpa butuh adaptasi waktu meski baru mengarungi alam mimpi.

Rutinitas selanjutnya sudah sangat kuhafal. Aku akan berjalan menuju lemari, meraih sikat gigi, lantas mendorong pintu kamar mandi tak jauh darinya.
Di asrama kami, tiap kamar memiliki dua kamar mandi di dalamnya. Jadi kami tak perlu mengantri lebih lama di kamar mandi asrama sebagaimana siswa laki-laki.
Beberapa teman sekamarku baru terbangun setelah aku dan temanku menyalakan keran besar-besar untuk memenuhi ember di kamar mandi.
Biasanya, setelah sempurna berwudhu’, aku akan mendapati teman-temanku duduk atau berdiri mengantri di dekat kamar mandi.
Kadang aku keluar dengan bersedekap karena dingin. Meski sudah tiga tahun berlalu, sesekali aku tidak bisa berkompromi dengan gigil udara kaki gunung. Terutama saat musim penghujan atau sekembali aku dari liburan di rumah yang jauh dari pegunungan. Saat itu aku butuh dua kali lipat energi untuk menjalani pagi.

Seusai merapikan sikat gigi di tepi lemari, aku menarik sajadah lengkap dengan mukena serta Al Qur’an dari sisi tempat tidur. Aku biasa menjemput seorang teman di seberang kamarku untuk berjalan ke masjid.
Kamarku terletak di bagian depan asrama, jauh lebih dekat dengan jalan menuju gedung sekolahku. Aku harus melalui empat kamar yang berjajar paralel untuk membuka pintu koridor belakang menuju masjid.
Di tepi teras asrama, kau akan mendapati sandal-sandal para penghuni asrama berjajar rapi. Kau hanya perlu menajamkan matamu untuk menemukan sandalmu di deretan panjang yang tersedia.

Aku selalu menyukai perjalanan menuju masjid. Saat itu, sembari menelusupkan tangan ke dalam lipatan sajadah untuk mengurangi dingin, aku selalu mendongakkan kepala menatap langit. Menyapa rembulan dan gemintang yang masih setia menghiasi langit.
Saat itu, semua inderaku menyatu dengan simfoni di sekitarku..
Pohon-pohon kersen yang menunduk syahdu, menyentuhkan gutasinya dalam kesejukan pagi.
Latar pegunungan yang berbaris dengan kokoh, mengurungmu dalam perasaan takjub sekaligus khusyu’ tertunduk. Betapa dirimu sangat kecil di hadapan alam semesta.

Saat itu, aku ingin berkata bahwa aku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta pada tiap pagi aku memulai hariku menuntut ilmu.
Aku jatuh cinta pada pukul empat pagi, saat aku memulai hariku di masjid.
Sholat tahajud. Membaca Al Ma’tsurat. Sholat sunnah fajar. Sholat Shubuh berjama’ah. Berkumpul di kelompok-kelompok menghafal Qur’an.
Aku mencintai pagiku.
Dan hari-hariku belajar mencintai-Nya..

Terima kasih.

(memori yang kujemput dari tiga tahun yang lalu : 2004-2007)

Pencerminan

Tumpah. Tumpah.

Biarkan kata-katamu tumpah di lautan.
Jangan sisakan sesak saat engkau tiba kembali di rumah, jangan sisakan isak untuk perjuanganmu selanjutnya.

Romadhon ini revolusi. Titik balik menuju puncak. Mengembalikan napas pada penghambaannya.

Dan liburan kali ini.
Palembang. Betung. Jambi. Kerinci. Painan. Tapan. Pantai Carocok. Ngarai Sianok.
Bukittinggi. Jam Gadang. Padang. Lampung. Sembilan hari !
Dan laut. Dan sawah. Dan tandus. Dan subur.

Adalah pencerminan saat kau kembali merunduk, menengok masa kau tumbuh dalam fase-fase sulit yang terlupakan. Amnesia. Mungkin. Tak paham. Mungkin. Entah.

Tapi pencerminan bisa membuatmu tenang, mengetahui bahwa engkau meliliki makna.
Memiliki tempat di hati orang-orang yang mengenalmu jauh sebelum engkau mengenal dirimu sendiri. Ada kedamaian yang menelusup saat mendengar cerita-cerita tentang dirimu mengalir dari mereka yang tak kunjung bisa kau ingat, namun menyambutmu begitu hangat seperti sahabat lama. Mengenal dirimu yang tumbuh dalam riak, berkecipak di tepi sungai dalam alirannya yang tenang.
Hal-hal yang tak bisa kau ingat.

Amnesia. Kau boleh menyebutku demikian. Banyak hal yang tak bisa kujelaskan, tentang memori masa kecil yang sama sekali tak teraba.
Pedih? Tak ada rasanya. Kosong. Apa yang kuingat hanya A Ba Ta, dan ingatan kanakku baru dimulai sejak kelas 3 SD.

Sementara sepupu-sepupuku dengan spontan bercerita tentang kisah lugu saat aku tumbuh bersama mereka.
“Kau ingat?” Aku menggeleng. Tapi tertawa. Menyenangkan menyadari bahwa engkau juga pernah melalui semuanya.

Menyapa, “Apa kabar?” Pada masa lalu yang tergembok rapat untuk kau lacak dalam sensor otakmu, menyisakan sedikit kosong, namun juga nyala semaangat dalam dadamu. Meski kecil. Tapi ia selalu ada untuk meyakinkan bahwa kau akan tumbuh dengan baik. Tumbuh dengan kuat untuk menghadapi rintangan, mengemban amanah penciptaan.

Ada kalanya kau tak bisa meraba hal-hal meski ingin kau ingat. Terhapus. Mungkin akibat keingina kuat untuk melupakannya saat dulu kau menghadapi kepedihan.
Mungkin engkau, mungkin tubuhmu, pikiranmu. Sebuah bentuk proteksi untuk menyelimuti jiwa polosmu. Jika demikian, lupa adalah anugerah yang patut kau syukuri.

Cukup. Lebih bijak meletakkan prasangka baik untuk hal-hal yang tak kau pahami, mengembalikannya pada kebaikan yang hangat. Selebihnya adalah kepercayaan, bahwa engkau terlahir untuk merengkuh mimpi besarmu. Kemarin adalah masa lalu yang tak bisa kau ubah, sedangkan esok adalah hadiah yang tak kau ketahui adanya.

Maka berjuanglah saat ini dan jangan berhenti. Karena kelak engkau akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya..

“Bukankah ALLAH Maha Mencukupi kebutuhan hamba-Nya?”

27 September 2009
senja menjelang malam,
saat terombang-ambing di atas lautan

SMS Milad

Sepanjang masa SMA-ku, aku memutuskan untuk mengirimkan sms sebagai hadiah bagi teman seperjuanganku yang memperingati hari lahirnya. Selain karena tidak mampu menghadiahkan sesuatu—baik secara uang maupun waktu, aku lebih menyukainya. Semoga dalam bulir-bulir kata yang kukirimkan, mereka menemukan oase makna yang bermanfaat, meski sederhana.

I.

Kupeluk engkau sahabatku sayang,
Sangat erat,
Kubisikkan kasih padamu
Bahwa aku mencintaimu dan turut berdo’a untuk kebaikanmu
16 sudah engkau,
Bukankah dalam Islam kedewasaan sejak 15?
Moga 1 tahun yang berlalu, dan 1 tahun yang berlalu berikan kebijaksanaan dalam hidupmu serta komitmen teguhmu sebagai muslimah,
Sang perindu syurga
Sirat matamu pada sua kita,
Aku tahu ada rindu,
Rindu pada ketaatan sepanjang hayat,
Pada pengabdian dalam syukur dan sabar pada Kekasih..
Moga Ia bimbing dan teguhkan kita dalam penghambaan

Kugenggam tanganmu dalam hangat
Percayalah cinta,
selalu ada kemesraan sejati dalam tiap sujud dan ruku’mu,
ada kekuatan dalam tegaknya tubuhmu dalam sholat,
kasih sejati yang kita rindukan dalam tiap ujian kehidupan
Tegarlah engkau dalam kelembutan
Sampaikan kebenaran,
Jangan turutkan kegentaran dalam dada
Kita adalah ummat terbaik
Amar ma’ruf
Nahyi munkar
dan keimanan yang kokoh pada-Nya
Maka peliharalah ia sebagai mutiara…

(22 November 2008)

II.

Sinar wajah
Tertunduk
Berpendar dalam perjuangan
Bait-bait cinta dan pengabdian, berpadu dalam simfoni
Air bening meluruh dari anak sungai teduhmu
Mencahaya dalam jiwa yang rebah
Taman kasih kita namakan,
Tempat berkumandang cita dan asa
Gita gemintang serta teguh jumawa..
Kulukis awan untukmu, pandanglah
Di sana pesan yang perlu kita kita eja
bersama turunnya anak-anak hujan
Mungkin juga ada damai yang kutitipkan pada fajar…
Cinta,
malam kita berlalu,
siang kita menggeser,
dan pagi adalah permulaan langkah-langkah muda..
Pada 16mu, kita catat kesaksian bebungaan yang menghuni hati rembulan
Selamat mendewasa cinta..

(5 Desember 2008)

III.

Aku mencintaimu karena Alloh
Sungguh kakak..
Moga Alloh mencintai kita karena cinta kita di jalan-Nya..

Jika kukatakan, “Da’wah ini semanis coklat,”
Maka aku tidak berdusta
Karena sungguh pertolongan Alloh itu dekat,
Pertolongan dari Sang Penguasa mutlak
Namun pesan seorang guru, “Kesabaran adalah bekal seorang da’I,”
Maka inilah wasiat yang utama
Karena yang membuat kehidupan mu’min istimewa adalah sabar dan syukur

Kakakku, jika kulihat langit dan gemintangnya,
maka kita sama mengingat betapa Maha Kuasanya Alloh,
dan aku juga ingat betapa tinggi tujuan mulia yang menghantarkan hidup kita pada perjuangan, sebuah kesejatian,
dan aku akan ingat senyum gemintangmu saat berkisah tentang mereka

Moga Alloh senantiasa bimbing dan kokohkan kita di jalan-Nya..
Met milad kakak..

untuk bintang gemintang
00:52:57, 5 Maret 2009 (Sungguh, ini karena mataku belum juga terpejam)

IV.

Pagi yang memeluk..
Dekaplah sukma dalam azzam,
akan perjuangan nan indah..
Kecup keningmu dengan tetesan air wudhu’,
Sungguh tiada yang lebih ni’mat dibanding Tahajud dan Shubuhmu di pagi hari..
Tiada yang lebih mekar dari senyum ikhlash menjemput taqwa..

Cinta,
lihatlah jemariku bergemulai hendak memeluk
Betapa indah ukhuwwah ini,
Jangan kau tukarkan biar segunung emas berlian
Lihatlah embun yang khusyu’ di pucuk-pucuk daun,
mutiara fajar dan kesempurnaan ciptaan
Mari bercermin pada beningnya,
pada sahaja dan kesederhanaannya..

Kelak juga kita jemput mimpi kita,
satu hadiah bernama syurga
Maka kita mohonkan, “Duhai Alloh kurniakan kami firdaus-Mu.”
Cinta..
Tak ada lelah dalam menuturkan kebenaran,
Bahkan bara kita adalah semangat penyeruan,
Karena da’wah ilalloh adalah misi warisan para Nabi..
Semoga Alloh teguhkan kita..
Selamat mendewasa cinta..

(15 Maret 2009)

NB : Sayang sekali, sms-sms yang lain belum sempat kusalin ulang..

Jumat, 11 Juni 2010

Lelaki Senja



Senja selalu tiba tepat waktu.

Begitupun lelaki itu.

Dari balik jendela biasa kutangkap bayangannya berdiri di penghujung bukit, menghamparkan sosoknya di antara pantulan danau dan keterbatasan mataku. Entah seberapa jauh.

Sebelum senja benar-benar turun, lelaki itu muncul perlahan dari timur, menyeret langkahnya menembus kabut putih yang menyamarkan sosoknya. Dan selama itu pula kunantikan ia menyandingkan diri di sisi pohon tua yang menjuntai rendah tanpa mengurangi jumawa. Menyenangkan menatapnya.

Kadang-kadang, kulambaikan tangan dari kejauhan, berharap kami bisa beramah tamah sejenak. Tak peduli kau menganggapku bodoh, karena nyatanya kabut selalu menghalangiku bahkan sekedar untuk menebak rupa senyumnya-jika ia benar tersenyum.

Berteman. Sekali saja, aku ingin mengenalnya. Pernah suatu hari aku begitu bersemangat untuk mengetahui namanya. Hanya namanya. Bertanya pada pelayan, tukang kebun, tukang masak, semua menggeleng. Aku meringis. Pada siapa lagi? Satu-satunya penghuni lain adalah nenek, wanita tua yang membuatku menjelma burung rapuh dalam sangkar emas. Ia hanya memberi kursi roda sebagai kebebasan, sementara menjelajah keluar rumah menjadi harga mahal yang harus kubayar dengan kurungan kamar sebulan penuh. Maka saat itu juga aku mengubur keinginanku, membiarkan air mata menguapkan binar dari mataku.

Dan di sinilah aku tiap senja, menikmati persahabatan aneh dengan lelaki itu di latar senja yang samar. Memandangi senja di tepi danau menjadi rutinitas kecil yang menjaga nyala hangat dalam dadaku. Sungguh.

Kau tak perlu memaksakan diri untuk memahami perkataanku, karena aku pernah merasa begitu lelah memahami empat belas tahun kehidupanku dalam keterpaksaan.
Pernah. Karena lelaki itu dan senja mengajariku memahami segalanya dengan indah, tak peduli kabut tebal senantiasa datang menemani. Ya, menemani. Aku belajar menerima kabut yang meliputi kehidupan sebagai teman, tak lagi melawan. Begitulah aku bertahan.

Senja selalu tiba tepat waktu.

Tapi kali ini keresahan yang datang, bukan lelaki senjaku. Senja sudah lama turun sementara lelaki itu belum juga tiba.

Beberapa pelayan mulai sibuk menggangguku. Berdengung gelisah seperti lebah yang diusik sarangnya. Sudah waktu makan malam, begitu bujuk mereka. Lampu mobil nenek mulai tampak di kejauhan. Masalahnya, wanita tua itu pasti murka jika satu saja penghuni rumahnya tidak hadir makan malam, apapun alasannya. Aku menyerah, tak mungkin aku membiarkan mereka diamuk nenek hanya karena aku. Bi Munah-pelayan yang mengasuhku sejak bayi-mendorong kursi rodaku ke ruang makan.

Sayup kudengar suara gerimis di luar.

Aku tahu senja juga merindukan lelaki itu.

———-

Tadi pagi aku bersitegang dengan nenek. Wanita itu benar-benar marah saat aku meminta izin keluar. Apa salahnya? Tak bolehkah aku menuntut sedikit kebebasan dari empat belas tahun ini.. Hanya kali ini. Aku ingin mencari lelaki itu, menemuinya dan bertanya apa ia baik-baik saja. Sudah tujuh senja lelaki itu tak datang.

Nenek memicingkan matanya saat kukatakan Bi Munah bersedia menemaniku. Ya, semalaman aku memohon pada Bi Munah karena ia satu-satunya pelayan yang berasal dari lingkungan kami, tentu ia bisa membantuku menemukan lelaki itu. Mata belati nenek menatap tajam Bi Munah yang hanya mampu menunduk. Tidak, ini kemauanku.
Aku mencari mata nenek, memutar kursi roda dan berusaha meyakinkannya, hanya sekejap. Karena lagi-lagi wanita adikuasa di hadapanku cukup memalingkan wajah dan berkata ‘tidak’ untuk membunuh keberanianku.

Tidak. Tidak. Tidak.

Apa aku harus seterusnya hidup dalam kediktatoran nenek?

Air mata lagi-lagi berlinangan.

“Kau terlalu lemah, bahkan untuk menghapus air matamu sendiri,” nenek berujar tajam.

Apa harus selalu lumpuhku yang menjadi alasan? Bukankah semua hanya tentang keegoisan nenek. Hampir saja aku berteriak pada nenek jika Bi Munah tidak segera memintakan maaf dan memohon diri dari hadapan nenek, lantas mendorongku kembali ke kamar.

Aku tak peduli. Hanya dua kata yang terngiang.

Nenek jahat. Nenek jahat. Nenek jahat !

Tangisku menderas. Sepanjang hari hanya Bi Munah yang setia menemaniku.
Menemani lagi-lagi hanya dalam sunyi. Apa selanjutnya aku juga harus berteman dengan sunyi ?

Pukul tiga Bi Munah meminta izin untuk pulang. Akhir-akhir ini ia harus merawat kakaknya yang hidup sendiri, yang kabarnya sedang sakit parah. Dokter sudah angkat tangan sejak awal.

Aku tersenyum. Entah mengapa Bi Munah tidak langsung beranjak. Wanita santun itu mengusap rambutku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku sudah tidak apa-apa, Bi,” ujarku pelan, meski jelas-jelas mataku berkata aku sangat terluka. Bi Munah mulai terisak.

Kadang kita harus berbohong untuk menenangkan orang yang kita sayangi. Maka kupejamkan mataku saat kembali mengatakannya.

“Ratih sudah tidak apa-apa. Sekarang Ratih tidur dulu, Bi,” bisikku.

Bi Munah membiarkanku terlelap di kursi sore itu. Beberapa saat kudengar langkahnya menjauh. Bi Munah, maafkan aku hari ini..
Dalam hati aku berharap bisa bertemu lelaki itu kembali, biarpun dalam mimpi.

———

Lelaki itu berdiri syahdu di tepi danau. Matanya teduh menghunjam tanah beberapa saat, kemudian menatap lembut senja di sisinya. Wajah lelahnya sesekali menoleh ke samping, memandangi wajah gadis yang menatapnya di kejauhan. Tubuhnya ringkih tergerogoti penyakit, namun semangat yang menyala di matanya tentu membuat dirimu terenyuh. Tak ada kabut di sini. Aku berdiri terpaku di hadapan lelaki itu. Benar-benar berdiri.

———

Senja kemarin aku alpa menunggu lelaki itu. Kata Bi Munah aku tertidur begitu lelap bahkan setelah dipindahkan ke tempat tidur. Padahal biasanya disentuh sedikit saja aku sudah terbangun.

Di depan jendela aku kembali termenung. Mimpi malam tadi sungguh terasa nyata, dan benarkah.. itu lelaki senjaku? Wajahnya begitu utuh dalam ingatanku. Mendamaikan.
Ada kehangatan yang tulus di sana. Ada kerinduan yang buncah menatapnya. Ada cinta yang tak pernah kudapatkan.

Tapi ada hal lain yang mengusikku. Pagi ini Bi Munah tampak aneh. Saat menyajikan sarapan, ia menjatuhkan piring hingga pecah, menumpahkan air di karpet, bahkan salah menyajikan hidangan untuk nenek. Padahal sudah belasan tahun ia menjadi pelayan kepercayaan nenek. Nenek yang biasanya tak bisa mentolerir kesalahan sekecil apapun juga hanya diam dan segera kembali ke kamar tanpa babibu.

Aneh.

Ratusan pertanyaan berkelebat di benakku, berpusing bagai puyuh di kepala. Berjibaku dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang selalu tampak abstrak. Berseteru dengan kesendirian dan sunyi yang pekat. Satu kali ini aku begitu merindukan lelaki senja itu. Satu kali ini begitu pedih. Apakah ia juga sudah begitu membencikku hingga tega meninggalkanku sendiri?
Satu kali ini aku akan menunggunya hingga purnama.
———-

Pintu terbuka pelan, lalu kembali ditutup tanpa derit yang terdengar. Langkah kaki mendekat. Seseorang menghela napas. Aku memejamkan mata, awalnya aku bertekad takkan membiarkan seorangpun menggangguku senja ini, tapi udara menguarkan aroma tubuh yang begitu kukenal. Aku menoleh. Bi Munah.
Perempuan paruh baya itu mengambil kursi dan duduk di dekatku. Sejenak diam, lalu dengan lembut ia meletakkan lembaran kertas lusuh yang terlipat rapi ke pangkuanku.
“Apa ini?” Setahuku Bi Munah tak bisa menulis.
Tak ada jawaban kecuali sinar mata Bi Munah yang memintaku membacanya.

Dusun Singgih, 5 Agustus 2009

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Teriring salam cinta ayahanda untuk ananda Ratih di pelukan kasih Sang Pencipta.

Apa kabar, Nak?
Ayah senantiasa berdo’a nanda dikarunai kesehatan dan kesehatan. Begitu banyak hal yang ingin ayah sampaikan, namun keadaan yang sulit tak memungkinkan kita bertatap langsung.
Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayah yang tak memiliki kesempatan untuk menunaikan kewajiban sebagai ayah, sebagai lelaki yang membimbing Ratih mengenal-Nya, membahagiakan Ratih atau sekedar menghapus air mata Ratih. Maafkan ayah, Nak.
Usiamu kini sudah genap 14 tahun. Betul, Nak?
Ayah selalu mengingat hari kelahiranmu. Kau adalah hadiah terbaik yang dikaruniakan Allah pada ayah. Kedatanganmu menabahkan ayah untuk mengikhlaskan kepergian ibumu, menguatkan ayah untuk bertahan meski kehilangan wanita yang amat ayah cintai. Namun tampaknya nenekmu belum bisa menerima kepergian ibumu, anak yang sangat dicintainya, hingga memutuskan untuk memisahkan engkau dari dunia luar, bahkan dari ayahmu sendiri.

Ibumu adalah wanita yang cantik, Nak. Wanita yang baik, santun, dan lembut. Meski kelumpuhan harus dideritanya seumur hidup, barangkali kelumpuhan itulah yang juga diwariskan padamu, ayah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada ibumu. Cinta yang suci.
Cinta yang tulus. Cinta yang lahir dari kekayaan jiwa. Nenekmu memutuskan untuk memindahkan ibumu ke desa ini saat usianya 16 tahun. Ia tak rela anaknya yang tercinta dicemooh orang karena kelumpuhannya, padahal sama sekali tidak. Tiap sore, ibumu duduk di halaman rumah nenek, menikmati udara dan panorama senja yang indah. Ibumu sangat mencintai senja seperti ayah. Maka suatu hari ayah memberanikan diri mengajaknya menikmati senja di tepi danau, tempat yang paling ayah suka sejak kecil. Hal ini berlangsung sepanjang tahun ayah mengenalnya, hingga ayah melamarnya saat ayah yakin bisa menghidupi keluarga, meski sederhana. Ayah memang satu dari sedikit orang yang bisa menikmati pendidikan, tapi itu tak berarti ayah memiliki kekayaan seperti nenekmu. Ya, beliau setuju karena ibumu pun sangat mencintai ayah.
Namun saat tiba kelahiranmu yang merenggut nyawanya, nenekmu mengutuk diri seakan menikahkan ibumu adalah keputusan yang salah. Tidak. Tidak sama sekali, Nak. Ibumu sangat mencintai kita. Ibumu sangat gembira menantikan kehadiranmu.
Maafkan nenekmu, ia sangat mencintaimu. Keterbatasan yang kau alami adalah wujud cintanya yang dua kali lipat cintanya pada anaknya, karena engkau sangat mirip dengan ibumu. Mungkin begitulah ia memaknai cinta. Meskipun hal ini juga selalu membuat ayah sedih karena hanya kemuraman yang kemudian mewarnai hari-harimu. Karena rasa kehilangan tak seharusnya membatasi kehidupan seseorang, mengurung kenangan dalam kotak bisu yang gulita.

Dari tepi danau ini, Nak. Ayah mengenang ibumu, dan memandangi wajah anak ayah yang tercinta dari kejauhan. Berharap Ratih, anak ayah yang istimewa, dapat menangkap pesan rindu ayah, merasakan kehadiran ayah bersama senja yang hangat.
Cinta memang tak harus diungkapkan dengan kata-kata, tapi ayah takut sebentar lagi ayah kehabisan waktu tanpa sempat memberitahumu betapa ayah mencintaimu.
Beberapa tahun terakhir ini penyakit lama ayah semakin kuat, segigih apapun ayah melawannya ayah hanya manusia yang tak bisa apa-apa kecuali berusaha dan berdo’a.
Tapi nampaknya beginilah ketetapan Allah. Bulan lalu dokter angkat tangan. Kanker stadium empat. Dirawat di rumah sakit pun hanya akan menghabiskan sisa hari yang ayah miliki dalam sunyi. Ayah benci jika harus kehilangan satu senja saja menatapmu.
Bi Munah bercerita kemarin kau menunggu ayah hingga nenekmu pulang. Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah tak mampu melangkahkan kaki, bahkan untuk sekedar berpindah keluar kamar. Maafkan ayah…

Ayah mencintaimu, sangat mencintaimu. Hal yang menyakitkan ayah adalah tika melihatmu bersedih. Jangan menangis ya, Nak.. Seberat apapun peristiwa yang kau alami. Bertahanlah seperti ibumu. Bertahanlah hingga kau menemukan kebahagiaanmu.
Bertahanlah dengan menjadi pelita tak hanya bagi dirimu, tapi bagi orang lain. Ayah yakin Ratih adalah anak ayah yang kuat. Ratih, masih banyak hal yang ingin ayah sampaikan. Sangat banyak. Tapi ayah tak ingin memenuhi surat ini dengan keluh kesah, karena kalimat cinta dan harapan jauh lebih baik untuk disampaikan pada orang yang kita sayangi. Ayah mencintai Ratih, sangat cinta. Berjuanglah dengan cinta itu.

Sudah dulu ya, Nak? Sebentar lagi Bi Munah tiba. Maafkan ayah senja ini dan selanjutnya tak lagi bisa datang. Ayah akan selalu mendo’akan Ratih.

Salam sayang, Ayahmu.

Aku terisak. Bi Munah yang sejak tadi sudah basah air mata menggenggam tanganku erat-erat.

“Ayahmu sudah pergi, Tih.. Ayahmu menitipkan surat ini pada Bibi lima hari yang lalu. Ia titip salam padamu. Kemarin.. Kemarin sore ayahmu menghembuskan napasnya yang terakhir..” Bi Munah berkata lirih.

Aku.. tak tahu apa yang kurasakan kali ini. Sedih. Bahagia. Rindu. Pilu. Yang pasti, takkan pernah ada amarah dan kebencian untuk lelaki itu. Takkan pernah.

Senja sudah turun ke pangkuan mayapada. Sementara lelaki senjaku takkan datang lagi. Aku mencintaimu, Ayah..


Cilandak, 27 Agustus 2009


Awalnya kutulis untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia, tapi selanjutnya–sungguh–aku benar-benar menyukai cerita ini )