Selasa, 22 Juni 2010

Pagi yang Tercinta



“Teeeet..”
Bel asrama berteriak nyaring di pagi buta.
Selalu begitu.
Pukul empat setiap hari, setia tujuh hari dalam seminggu, empat minggu dalam sebulan, tak pernah alpa tiga puluh enam bulan dalam tiga tahun.
Kau tak butuh telinga sepeka kelinci untuk mendengarnya, karena bel yang menghuni koridor asrama kecil kami jauh lebih dari cukup untuk membuat keributan ‘kecil’ di pagi yang sunyi.
Asrama kami terdiri dari delapan kamar. Tiap kamar dihuni oleh delapan anak. Dan setelah keributan ‘kecil’ itu dimulai, enam puluh empat anak serentak terbangun dan membuat asrama yang sunyi menjadi riuh seperti semula.
(Ditambah jika engkau menghitung jumlah asrama kami, empat asrama putri dan empat asrama putra, sempurna sudah tempat kami menjelma menjadi kota kecil di tengah pegunungan).

Beberapa anak, meski sudah memasuki tahun ketiga, selalu memberikan reaksi tak kalah sigap dari siswa ketentaraan.
Salah satunya adalah aku.
Tiap kali mendengar suara sakti andalan wali asrama, antara sadar dan tidak, aku segera terloncat bangun. Benar-benar meloncat.
Bahkan jika aku sedang mendapat jadwal mingguan tidur di kasur tingkat dua, aku spontan melompat ke lantai. Meloncati dua dari empat anak tingga vertikal di ranjang besi kami.
Alhasil, mataku terbuka dengan sempurna tanpa butuh adaptasi waktu meski baru mengarungi alam mimpi.

Rutinitas selanjutnya sudah sangat kuhafal. Aku akan berjalan menuju lemari, meraih sikat gigi, lantas mendorong pintu kamar mandi tak jauh darinya.
Di asrama kami, tiap kamar memiliki dua kamar mandi di dalamnya. Jadi kami tak perlu mengantri lebih lama di kamar mandi asrama sebagaimana siswa laki-laki.
Beberapa teman sekamarku baru terbangun setelah aku dan temanku menyalakan keran besar-besar untuk memenuhi ember di kamar mandi.
Biasanya, setelah sempurna berwudhu’, aku akan mendapati teman-temanku duduk atau berdiri mengantri di dekat kamar mandi.
Kadang aku keluar dengan bersedekap karena dingin. Meski sudah tiga tahun berlalu, sesekali aku tidak bisa berkompromi dengan gigil udara kaki gunung. Terutama saat musim penghujan atau sekembali aku dari liburan di rumah yang jauh dari pegunungan. Saat itu aku butuh dua kali lipat energi untuk menjalani pagi.

Seusai merapikan sikat gigi di tepi lemari, aku menarik sajadah lengkap dengan mukena serta Al Qur’an dari sisi tempat tidur. Aku biasa menjemput seorang teman di seberang kamarku untuk berjalan ke masjid.
Kamarku terletak di bagian depan asrama, jauh lebih dekat dengan jalan menuju gedung sekolahku. Aku harus melalui empat kamar yang berjajar paralel untuk membuka pintu koridor belakang menuju masjid.
Di tepi teras asrama, kau akan mendapati sandal-sandal para penghuni asrama berjajar rapi. Kau hanya perlu menajamkan matamu untuk menemukan sandalmu di deretan panjang yang tersedia.

Aku selalu menyukai perjalanan menuju masjid. Saat itu, sembari menelusupkan tangan ke dalam lipatan sajadah untuk mengurangi dingin, aku selalu mendongakkan kepala menatap langit. Menyapa rembulan dan gemintang yang masih setia menghiasi langit.
Saat itu, semua inderaku menyatu dengan simfoni di sekitarku..
Pohon-pohon kersen yang menunduk syahdu, menyentuhkan gutasinya dalam kesejukan pagi.
Latar pegunungan yang berbaris dengan kokoh, mengurungmu dalam perasaan takjub sekaligus khusyu’ tertunduk. Betapa dirimu sangat kecil di hadapan alam semesta.

Saat itu, aku ingin berkata bahwa aku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta pada tiap pagi aku memulai hariku menuntut ilmu.
Aku jatuh cinta pada pukul empat pagi, saat aku memulai hariku di masjid.
Sholat tahajud. Membaca Al Ma’tsurat. Sholat sunnah fajar. Sholat Shubuh berjama’ah. Berkumpul di kelompok-kelompok menghafal Qur’an.
Aku mencintai pagiku.
Dan hari-hariku belajar mencintai-Nya..

Terima kasih.

(memori yang kujemput dari tiga tahun yang lalu : 2004-2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar